Nama : Mei Arum I. S
Nim : 11004269
Kelas : E
K.H Ahmad Badawi

a. Profil
Lahir : 5 Februari 1902 ,Yogyakarta.
Wafat : 25
April 1969 Yogyakarta.
Istri : Hj.St.Zayinah Badawi,
istri : Hj.St.Zayinah Badawi
Anak : Siti Djamimah, Muhammad Djaldan Badawi, Siti
Daniyah, Uswar, Busyron, Jafroh, Muhammad Jamam, Muhammad Basil, dan Muhammad
Iban.
b. Pendidikan
ü Santri
di Pondok Pesantren Lerab Karanganyar, 1908-1913.
ü Santri
di Pondok Pesantren Termas, Pacitan (K.H. Dimyati), 1913-1915.
ü Santri
di Pondok Pesantren Besuk, Wangkal Pasuruan, 1915-1920.
ü Santri
di Pondok Pesantren Kauman dan Pesantren Pandean di Semarang pada tahun
1920-1921
ü Madrasah
Muhammadiyah Standaarschool.
c. Karier
ü Penasihat
Pribadi Presiden Soekarno dibidang agama (1963)
ü Imam
III Angkatan Perang Sabil (APS), 1947-1949.
ü Wakil
Ketua Majelis Syuro Masyumi di Yogyakarta, 1950.
ü Anggota
Dewan Pertimbangan Agung, 1968.
d. Sejarah
singkat
KH Ahmad Badawi (lahir
di Yogyakarta, 5 Februari 1902 – meninggal di Yogyakarta, 25 April 1969 pada
umur 67 tahun), beliau adalah putera ke-4 dari KH.Muhammad Fakih dan Nyai Hj.
Sitti Habibah. KH. Muhammad Fakih, adalah salah satu Pengurus Muhammadiyah pada
tahun 1912, sebagai Komisaris. Sedangkan Nyai Hj. Sitti Habibah tak lain adalah
adik kandung KH. Ahmad Dahlan. Jika dirunut silsilah dari garis ayah, maka
Ahmad Badawi memiliki garis keturunan dengan Panembahan Senopati. Jika dilihat
dari latar belakang kedua orang tuanya itu, maka tak heran bila sedari dini
telah ditanamkan nilai-nilai agama kepada Ahmad Badawi, dan ini sangat
mempengaruhi perilaku hidup dan etika kesehariannya. Beliau adalah mantan Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965.
Diantarasaudara-saudaranya,
Ahmad Badawilah yang lebih memiliki kesenangan berorganisasi. Hobinya ini
menjadi ciri khas baginya yang tumbuh sedari masih remaja, yaitu ketika ia
masih menempuh pendidikan. Sejak masih belajar mengaji di pondok-pondok pesantren,
dia sering membuat kelompok belajar yang terorganisir yang mendukung kelancaran
proses mengajinya. Potensi ini kemudian ditumbuhkembangkan di wadah
Muhammadiyah.
Pendidikan formalnya
dimulai di Madrasah Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan di Kauman
Yogyakarta, yang belakangan berubah menjadi Standaarschool dan kemudian menjadi
SD Muhammadiyah. Pada usia dini beliau sudah belajar mengaji kepada ustad KH.
M. Fakih, yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Kemudian pada tahun 1908-1913
menjadi santri di Pondok Pesantren Lerab Karanganyar, untuk belajar tentang
nahwu dan sharaf. Pada tahun 1913-1915 ia belajar kepada KH. Dimyati di Pondok
Pesantren Termas, Pacitan. Di pesantren ini, ia dikenal sebagai santri yang
pintar berbahasa Arab (nahwu dan sharaf) yang telah didapat di Pondok Lerab.
Pada tahun 1915-1920 Ahmad Badawi mondok di Pesantren Besuk, Wangkal Pasuruan.
Dan kemudian Badawi menamatkan pendidikan agama di Pesantren Kauman dan
Pesantren Pandean di Semarang pada tahun 1920-1921.
Tumbuhnya
organisasi-organisasi kebangsaan ketika usia Badawi masih remaja membuatnya
harus pandai-pandai untuk menentukan pilihan aktivitas organisasi.
Masing-masing organisasi berupaya menggalang anggota-anggotanya dengan berbagai
macam cara, dengan tujuan untuk bersatu mengusir pemerintah kolonial Belanda,
dengan berbagai variasi sesuai dengan misi dan visi organisasinya.
Keinginan Badawi untuk
mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang telah dipelajarinya dari berbagai
pesantren akhirnya mengantarkannya pada Muhammadiyah sebagai pilihannya dalam
beraktivitas. Hal ini dilatarbelakangi oleh misi, visi, dan orientasi
Muhammadiyah selaras dengan cita-cita Badawi. Keberadaannya di Muhammadiyah
lebih diperjelas dengan tercatatnya ia di buku Anggota Muhammadiyah nomor 8.543
pada tanggal 25 September 1927. Keanggotaan ini diperbarui pada zaman Jepang
sehingga ia ditempatkan pada nomor 2 tertanggal 15 Februari 1944
Prestasi di bidang
tabligh telah mengantarkan A.Badawi untuk dipercaya menjadi Ketua Majelis
Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1933. Pada tahun-tahun
berikutnya beliau juga diserahi amanat untuk menjadi Kepala Madrasah Za'imat
(yang kemudian digabung menjadi Madrasah Mu'allimat pada tahun 1942).
Pada masa perjuangan,
Badawi pernah memasuki Angkatan Perang Sabil (APS). Beliau turut beroperasi di
Sanden Bantul, Tegallayang, Bleberan, dan Kecabean Kulon Progo. Pada tahun
1947-1949, Badawi menjadi Imam III APS bersama dengan KH. Mahfudz sebagai Imam
I dan KRH.Hadjid selaku Imam II untuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Beliau juga
menjadi anggota Laskar Rakyat Mataram atas instruksi dari Sri Sultan Hamengku
Buwono IX, serta bergabung di Batalyon Pati dan Resimen Wiroto, MPP Gedongan.
Pada tahun 1950, Badawi dikukuhkan sebagai Wakil Ketua Majelis Syuro Masyumi di
Yogyakarta. Di partai ini, belum lagi beliau banyak membuat karya dan
pengabdian, partai ini kemudian membubarkan diri.
Keaktifan dan
kepiawaian A.Badawi telah menjadikan A.Badawi sebagai kader yang unggul dari
Muhammadiyah. Di Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Badawi selalu terpilih dan
ditetapkan menjadi Wakil Ketua. Pada waktu Muktamar Muhammadiyah ke-35 di
Jakarta, Badawi terpilih menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode
1962-1965. Periode ini adalah periode dimana TAPAK SUCI secara de facto merupakan
gerakan Muhammadiyah. HR.Haiban Hadjid menjalankan amanat sebagai Ketua Umum
Perguruan TAPAK SUCI, dan H.Djarnawi Hadikusuma duduk sebagai penasihat.
Lambang Sinar Matahari pun dimasukkan ke dalam Lambang TAPAK SUCI sebagai
identitas bahwa TAPAK SUCI adalah gerakan Muhammadiyah.
Pada Muktamar
Muhammadiyah ke-36 di Bandung, Ahmad Badawi terpilih lagi menjadi Ketua
Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1965-1968. Pada periode inilah TAPAK SUCI
secara de jure ditetapkan secara resmi menjadi organisasi otonom ke-11 di
Persyarikatan Muhammadiyah. Hal ini tidak terlepas dari dukungan KH. Ahmad
Badawi yang memandang bahwa TAPAK SUCI sangat efektif sebagai tempat pembinaan
Kader Muhammadiyah.
Citra politik
Muhammadiyah pada masa kepemimpinan Badawi memang sedang tersudut, karena
banyaknya anggota Muhammadiyah yang menjadi anggota dan pengurus Masyumi yang
saat itu sedang menjadi target penghancuran oleh rezim Orde Lama. Citra ini
memang sengaja dihembus-hembuskan oleh PKI, bahwa Muhammadiyah dituduh
anti-Pancasila, anti-NASAKOM, dan pewaris DI/TII. Muhammadiyah pada saat itu
berhadapan dengan banyak tekanan politik masa Orde Lama.
Menghadapi realitas
politik seperti itu, Muhammadiyah akhirnya dipaksa berhadapan dengan
urusan-urusan politik praktis. Muhammadiyah sendiri kurang leluasa dalam
beradaptasi dan berinteraksi dengan sistem politik yang dibangun Orde Lama.
Akhirnya, Muhammadiyah mengambil kebijakan politik untuk turut serta terlibat
dalam urusan-urusan kenegaraan.
Kebijakan Muhammadiyah
itu akhirnya membawa kedekatan Badawi dengan Presiden Soekarno. Semenjak 1963,
Badawi diangkat menjadi Penasihat Pribadi Presiden di bidang agama. Perlu
diperhatikan bahwa kedekatan Badawi dengan Soekarno bukan untuk mencari muka
Muhammadiyah di mata Presiden. KHA. Badawi sangat bijak dan pintar dalam melobi
Presiden dengan nuansa agamis. KHA. Badawi tidak menjilat atau menjadi antek
Soekarno, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh lain. Ia memiliki prinsip
agama yang kuat, sehingga karena itulah Muhammadiyah berani mengamanatkan
kepadanya untuk mendekati Soekarno. Kedekatan ini juga dirasakan manfaatnya
oleh Soekarno, bahwa dirinya sangat memerlukan nasihat-nasihat agama. Oleh
karenanya, bila KHA. Badawi memberikan masukan-masukan yang disampaikan secara
bijak, Soekarno sangat memperhatikannya. Bahkan para menterinya pun diminta
turut memperhatikan fatwa Kiai Badawi.
Bagi Muhammadiyah,
keadaan ini sangat menguntungkan. Fitnahan terhadap Muhammadiyah yang terus
jalan harus diimbangi dengan upaya mengikisnya. Soekarno sendiri sadar bahwa
Muhammadiyah pada masa itu senafas dan seirama dengan Masyumi, namun ia tetap
membutuhkan kehadiran Muhammadiyah. Bahkan Soekarno sepertinya semakin
menyukainya untuk balance of power policy. Iktikad baik Soekarno ini
menunjukkan bahwa dirinya sangat memerlukan kehadiran Muhammadiyah untuk
mengimbangi keberadaan PNI, NU, dan PKI yang dirasanya lebih dekat.
Nasihat-nasihat politik
yang diberikan Badawi sangat berbobot dipandang dari kacamata Islam. Secara
relatif KHA. Badawi bisa mengendalikan Presiden Soekarno agar tidak terseret
terlalu jauh oleh pengaruh komunis yang menggerogotinya. Siraman rohani kepada
Soekarno disampaikan oleh Kiai Badawi tidak terikat oleh ruang dan waktu. Di
mana ada kesempatan, Kiai Badawi memberikan nasihatnya kepada Presiden.
Pada tahun 1968, dalam
masa pemerintahan Orde Baru, beliau diangkat menjadi Dewan Pertimbangan Agung.
Pengangkatan beliau berdasar pada prestasinya ketika memimpin Muhammadiyah
(1962-1965, dan 1965-1968), dan pengalaman beliau menjadi Penasihat Pribadi
Presiden Soekarno di bidang agama. Di DPA itu, beliau dipercaya kembali sebagai
penasihat Presiden Soeharto di bidang agama Islam. Namun, KHA. Badawi
sebenarnya hanya sedikit memberikan nasihatnya pada pemerintahan awal Orde Baru
itu. Hal ini dikarenakan kondisi fisiknya yang sudah melemah. Penyakit dan usia
beliau yang renta kurang memungkinkan fisiknya untuk turut berkiprah lebih
banyak dalam memberikan sumbangsihnya kepada negara dan bangsa.
Sebagai seorang
pemimpin, Badawi juga produktif sebagai penulis. Karya-karya tulis yang telah
dihasilkannya antara lain ialah Pengadjian Rakjat, Kitab Nukilan Sju’abul-Imam
(bahasa Jawa), Kitab Nikah (huruf Pegon dan berbahasa Jawa), Kitab Parail
(huruf Latin berbahasa Jawa), Kitab Manasik Hadji (bahasa Jawa), Miah Hadits
(bahasa Arab), Mudzakkirat fi Tasji’il Islam (bahasa Arab), Qawaidul-Chams
(bahasa Arab), Menghadapi Orla (Bahasa Indonesia), dan Djadwal Waktu Shalat
untuk Selama-lamanja (H.M. Jusuf Anis, tt: 27).
KHA. Badawi meninggal
hari Jum’at 25 April 1969 pukul 09.45 di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta. Usaha para dokter tidak bisa menghadang takdir Allah yang telah
ditentukan atasnya. Di saat meninggal, KHA. Badawi masih menjabat sebagai
anggota Dewan Pertimbangan Agung dari tahun 1968. Sedang
di Muhammadiyah beliau ditempatkan sebagai Penasihat PP. Muhammadiyah periode
1969-1971 berdasar hasil Muktamar Muhammadiyah ke-37 di Yogyakarta.
http://pptapaksuci.org/tokoh/260-kh-ahmad-badawi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar