Tugas
Ringkasan Buku
“Children
Language Acquisition and English Language Teaching “
Dosen : Prof.Dr. Bustami Subhan,M.S.
By :
Nama : Mei
Arum Indrani Sayekti
Nim :
11004269
Class : E
ENGLISH EDUCATION STUDY PROGRAM
FACULTY OF TEACHER TRAINING AND EDUCATION
AHMAD DAHLAN UNIVERSITY
2013
Bab I
PENGERTIAN
DASAR
A.
CLA dalam ilmu Linguistik
Dalam ilmu Linguistik,
pembelajaran bahasa (language learning) bahasa pertama, kedua, dan bahasa asing
dapat diterapkan, sehingga pembelajaran bahasa pertama (first language
learning), pembelajaran bahasa kedua (second language learning) dan
pembelajaran bahasa asing (foreign language learning) merupakan istilah-istilah
yang sering dijumpai atau terdengar.
Kajian yang menarik
dalam ilmu linguistic khususnya psikolinguistik (psycholinguistics) adalah
pembelajaran bahasa baik untuk bahasa pertama, bahasa kedua, maupun bahasa
asing. Karena psikolinguistik merupakan cabang ilmu yang ingin menjawab 2
pertanyaan: (1) how language is produced (bagaimana bahasa itu diproduksi) (2) how language or learned (bagaimana
bahasa itu diperoleh).
Kegiatan pembelajaran
bahasa dibagi menjadi 2, yaitu : first
language learning dan second or
foreign language learning.
Istilah khusus yang
diberikan oleh ahli linguis untuk pembelajaran bahasa pertama “language acquisition” yang artinya
“pemerolehan, penguasaan, atau akuisisi bahasa pertama atau bahasa ibu oleh
anak”.
Adapun
diagram yang mempermudah pemahaman :
Language Acquisition Language
Learning
(First
language learning) 1.
Second language
2.
Foreing language
Dalam diagram diatas,
dapat disimpulkan bahwa children
language aquistion (CLA) mempunyai posisi dan kaitan erat dengan bahasa
pertama atau bahasa ibu(the mother tongue), sedangkan language learning (pembelajaran bahasa) melekat dengan bahasa kedua
dan (atau) bahasa asing.
Ketika kita
membicarakan CLA dilingkungan mahasiwa jurusan bahasa asing (seperti : Inggris,
Arab, Perancis, atau Jepang) kajian kita tak dapat terbatas dengan bagaimana
anak-anak di Indonesia memperoleh bahasa ibu (seperti : Jawa, Sunda, Minang
atau yang lain), namun bagaimana suasana, keadaan, dan faktor-faktor
pembelajaran bahasa ibu yang baik atau ideal itu dapat difahami oleh para
mahasiswa untuk dipakai dalam pengajaran dalam pengajaran bahasa asing kepada anak-anak.
B. CLA Sebagai Kajian Khusus
CLA dahulu dalam kajian
psikolinguistik bernama Language
Development, sebelum mencapai tingkatan atau tataran bahasa orang dewasa
(Adult’s language atau adult’s grammar).
Pada usia anak
tertentu, misalnya bayi, bahasa anak masih menyatu dengan tangis, biasanya
tangis bayi tidak hanya dianggap sebagai ungkapan rasa sakit atau rasa tidak nyaman
(seperti: rasa lelah, penat, atau panas)
namun juga sebagai “bahasa” anak pada tahap awal, tahap selanjutnya bayi
menggunakan kata-kata (vocabulary). Yang terpenggal-penggal (tidak gramatikal)
dan masih kurang jelas palafalannya (pronouncationnya), contoh : bayi
mengatakan “Bu oti” yang artinya dapat menjadi “ Bu, aku minta roti” atau “ Bu,
aku ambilkan roti” dan lainnya.
CLA
atau penguasaan bahasa anak merupakan kajian yang menarik baik bagi linguis,
psikolog, dokter anak, guru atau orang yang tertarik dengan anak-anak.
Mata
kuliah CLA yang diajarkan di perguruan tinggi dan dikaitkan dengan pengajaran
bahasa Inggris di Indonesia terdapat dugaan ( hipotesis) bahwa dikalangan
masyarakat Indonesia telah terdapat kemajuan-kemajuan yang kuliah CLA yang diajarkan
di perguruan tinggi dan dikaitkan dengan pengajaran bahasa Inggris di Indonesia
terdapat dugaan ( hipotesis) bahwa dikalangan masyarakat Indonesia telah
terdapat kemajuan-kemajuan yang cukup signifikan, terdapat “usaha-usaha” untuk
meningkatkan mutu pendidikan anak-anak sekolah. Perubahan masyarakat tersebut
terkait dengan keberhasilan pembangunan di Indonesia.
Tahapan-tahapan
keberhasilan pembangunan di Indonesia :
Pada
awal kemerdekaan sampai tahun 1960-an, jumlah orang Indonesia yang bersekolah
masih sangat sedikit, sehingga peluang untuk meraih beasiswa berupa
TID(Tunjangan Ikatan Dinas) disediakan untuk masyarakat , khususnya para
pelajar, sehingga setelah selesai belajar di Sekolah dengan tingkatan SLTA
seperti SPG(Sekolah Pendidikan Guru). PGA (Pendidikan Guru Agama), SGHA (
Sekolah Guru dan Hakim Atas), atau yang
lain mereka ditempatkan di berbagai daerah di Indonesia untuk menjadi guru. Dan
yang meneruskan sekolah ke perguruan tinggi relatif kecil, dan pada umumnya gelar yang diperoleh
hanya setingkat Diploma 1 (misalnya melalui kursus B1), dan ada pula yang
sampai meraih gelar B.A (Bachelor of Art) atau yang sederajat.
Pada tahun
(1945-1960-an), orang bergelar B.A sudah sangat disegani dalam keilmuannya
karena pada umumnya orang tidak bersekolah, dan hanya golongan elite atau
mereka yang pandai dan dapat beasiswa dari Negara yang dapat melakukannya. Pada
saat itu (1960-an) orang yang bergelar sarjana lengkap (seperti Drs., S.H. atau
insinyur) masih sangat sedikit. Dan orang yang bergelar Master atau Dokter
(dengan model kuliah dan bukan karena hadiah atau horonis causa). Bahkan
dikatakan langka “very rare” atau belum ada. Orang yang “terpandang” di masyarakat
sering lalu diberi anugerah gelar professor atau doktor oleh Pemerintah agar
mereka mempunyai hak untuk melahirkan sarjana yang lebih bermutu dengan cara
mengikuti kuliah reguler strata satu (S1), strata dua (S2), maupun strata tiga
(S3).
1.
Dalam tahap yang kedua ini
sekolah-sekolah di Indonesia masih memprihatinkan, dan pembelajaran berlangsung
di rumah, menumpang pada rumah kepala desa, dan fasilitasnya sangat terbatas,
anak-anak umumnya menggunakan sabak untuk menulis, berjalan kaki, tidak berseragam, dan tidak
bersepatu. Bahkan dilingkungan perguruan tinggipun jauh dari kata memadai,
contohnya mahasiswa UGM yang dulu menggunakan gedung milik Kraton, mereka
umumnya kuliah dengan bersepeda, dan menimbulkan julukan Jogjakarta sebagai
“kota sepeda”, selain kota budaya, kota perjuangan, dan kota pelajar.
2.
Dalam tahap ketiga ini, tingkat
partisipasi masyarakat terhadap pendidikan masih rendah, Sekolah Swasta belum
berkembang, Partisipasi Swasta tampak berkembang tahun 1970-an sampai tahun
1997. Namun setelah tahun 1997, ada indikasi yang kurang baik, ada 3 hal yang
menimbulkannya seperti :1. Munculnya sekolah atau perguruan tinggi asing yang
akan “menyerang” Indonesia. 2. Munculnya lembaga-lembaga pendidikan “liar” yang
menawarkan program mewah seperti : MBA, M.A., M.Sc., Pd.D dengan membayar satu
juta saja, tanpa harus melalui kuliah berat(reguler). Dan 3. Semangat
kedaerahan yang sempit, sering dengan adanya otonomi daerah di Era Reformasi,
yang telah memacu “angin perlombaan” untuk mendirikan perguruan tinggi.
Berkaitan
dengan CLA, meningkatnya kesadaran dan partisipasi masyarakat Indonesia
terhadap pendidikan juga membawa pengaruh terhadap muatan kurikulum baru bahasa
Inggris, sampai tahun 1997, bahasa Inggris diajarkan di sekolah umum (negeri)
dari SLTP- Perguruan Tinggi, dan
dimasukkan dalam kurukulum sebagai muatan local
content atau muatan local (mulok)
dan diajarkan dari S D kelas
4.
Beberapa
sekolah mapan(established) memberikan pelajaran bahasa Inggris, sejak kelas
satu, seperti dipraktikkan oleh beberapa SD Muhammadiyah di Yogyakarta, dan ada
juga sekolah-sekolah TK yang merasa mapan ingin mencoba memasukkan bahasa
Inggris sebagai mata pelajaran “unggulan”. Karena mereka menganggap bahwa
bahasa Inggris itu penting, dan harus diberikan pada anak, gairah masyarakat
untuk membicarakan, mempersiapkan dan merancangkan English for Children atau English
for Kids menjadi semakin gencar. Akibatnya, CLA menjadi penting dan perlu
dikuasai oleh para guru dan calon guru bahasa Inggris di SD dan TK : guru
bahasa Inggris yang baik perlu menguasai bahan yang akan diajarkan, psikologi
anak yang akan diajar, dan metode yang tepat dalam mengajar.
BAB
II
BEBERAPA
TEORI TENTANG CLA
A. TEORI CLA dalam Ilmu Linguistik
2 teori pemerolehan bahasa oleh anak dalam Ilmu
Linguistik yaitu : (1) Teori Pembentukan
Kebiasaan (The Habit Formation Theory) dan (2) Teori Pembelajaran secara Kognitif (The Cognitive Code learning Theory).
Kedua teori tersebut dapat dipadukan dengan cara melengkapi pengetahuannya
tentang keadaan psikologi anak dan kegiatan mereka dalam belajar bahasa pertama
maupun bahasa kedua.
1.
Teori
Pembentukan Kebiasaan (The Habit Formation Theory)
Dalam
teori ini menjelaskan bahwa anak kecil itu dapat menguasai bahasa ibu(the
mother tongue) atau bahasa pertama (the first language) karena adanya factor
pembentukan kebiasaan, baik di lngkungan keluarga maupun lingkungan sekitar.
Teori
ini sejalan dengan teori empirisme, yang dikemukakan oleh John Lock. Ia
mengemukakan bahwa ank itu seperti kertas putih, lilin putih, atau kanfas yang
dapat digambari/ ditulisi/ di bentuk oleh lingkungan dan keluarganya, khususnya
oleh ibi/ayahn
Umumnya anak mempunyai ibu dan bapak yang
memberikan pendidikan dasar kepadanya(termasuk berbahasa, membaca, dan
menulis). Dalam hal ini peran ibu mempunyai kekuatan dalam memberikan warna
atau sibghah(celupan), misalnya dalam pembentukan selera makan, bahasa, dan
lain-lain termasuk agamanya.
Bahasa
Ibu (the mother tongue) adalah bahasa pertama, atau asli ( the native language)
yang dikuasai oleh anak atau disebut juga bahasa pertama (the first language),
anak Indonesia biasanya menguasai bahasa daerah, dan bahasa Indonesia sebagi
bahasa kedua(the second language). Bahasa Inggris, perancis, Arab, atau yang
lainnya dipelajari oleh anak Indonesia merupakan bahasa asing (foreign
language) pada waktu mereka duduk di sekolah lanjutan, atau di perguruan
tinggi. Dalam proses pembentukan kebiasaan ini, dalam berbahasa harus disertai
dengan rasa cinta, sehingga menumbuhkan iklim yang baik (a condusive
atmosphere), dalam hal ini, anak dilatih berbahasa dari kata-kata yang mudah
sampai yang sulit (kompleks), sehingga akhirnya anak menguasai dan dapat
menerapkan untuk berkomunikasi dengan orang lain.ransangan (stimulus) menjadi factor yang harus
diberikan secara berulang-ulang, dan reinforcement)
penguatan motivasi, dorongan pujian, hadiah dan lain-lain kepada anak,
sangat penting dilakukan oleh pendidik, pengajar atau guru.
2. Teori
Pembelajaran secara Kognitif (The Cognitive Code learning Theory)
Menurut
teori ini anak kecil sudah dikaruniai oleh Allah SWT. Berupa language acquisition device (LAD) atau
alat untuk menguasai bahasa, khususnya bahasa pertama (L1), dalam teori ini
anak yang normal dan tidak diisolasikan dari masyarakat pasti dapat menguasai
bahasa ibu tanpa melihat siapa yang mengajarkannya. Jadi anak sudah dapat
membuat “hipotesis” terhadap input
bahasa yang datang dari lingkungan keluarganya. Prosesnya adalah:
1. Mendapat
input,
2. menyimpulkan,
3. menguji
kembali hipotesisnya dengan bahasanya sendiri.
Dalam
buku John Lcyons Noam Chomsky (1970:30)
mengatakan bahwa kreatifitas berbahasa
(creativity) itu sangat penting bagi manusia, dan teori grammar haruslah
mencerminkan kemampuan untuk memahami kalimat-kalimat yang belum pernah
didengar sebelumnya. Dalam buku
tersebut intinya bahwa sebuah kreatifitas sangat diperlukan untuk penutur
bahasa karena harus memahami dan dapat memproduksi kalimat-kalimat baru yang
belum pernah mereka dengarkan sebelumnya.
Sehingga
teori CLA dalam model ini tugas sebagai pendidik dalah memberikan kesempatan
yang seluas-luasnya kepada anak didik untuk mengembangkan kemampuannya.
Rata-rata anak bersekolah itu ber-IQ normal dan harus mendapatkan banyak
bimbingan, tuntunan, dan pembiasaan yang baik seperti yang diyakini para
penganut teori Habit formation
B.
Teori
Pembelajaran Bahasa dalam Psikologi
Dalam
ilmu psikologi pembelejaran untuk anak atau orang dewasa dapat diterangkan
dalam 3 teori besar (grand theories), yaitu :
1. Teori
Kebiasaan Tingkah Laku.
2. Teori
bakat atau Nativisme.
3. Teori
Konvergensi (perpaduan antara bakat dan ajar/ kebiasaan)
A.
Teori
Kebiasaan Tingkah Laku
Teori
Kebiasaan Tingkah Laku atau “ The
Behavioristic Approach” berpendapat bahwa kemajuan atau perkembangan
ditentukan oleh kebiasaan tingkah laku yang dibentuk (habit formation), dalam
pembentukan kebiasaan tingkah laku anak (children behavior) untuk menjuj
tingkatan yang lebih baik harus terprogram secara sadar, sering disebut dengan
istilah pendidikan,pengajaran atau tarbiyah.
Tujuan
pokok dari teori kebiasaan tingkah laku ini ada dua yaitu :
1. Bahwa
anak itu pada awalnya bersifat fitrah, suci, dan tidak berdosa,
2. Bahwa
kemajuan atau perkembangan tingkah laku anak sangat bergantung pada lingkungan.
Banyak
para pakar psikologi yang setuju dengan teori ini seperti : John Lock, Clark
Hull. Teori empirisme ini mirip teori fitrah dalam islam : anak harus diberi
pendidikan atau pengajaran yang baik agar mereka dapat berkembang dengan baik
untuk masa depannya.
Mirip dengan John Lock, Clark Hull
(Ruch, 1967:215) mengatakan bahwa (1) apa yang dipelajari (what is learned)
merupakan hubungan antara stimulus dan respon-unit belajar disebut habith strength. (2) reinforcement merupakan sebuah hal yang
sangat penting dalam belajar, dan (3) hubungan yang dipelajari antara stimulus
dan respon akan bertambah kuat sejalan dengan menguatnya perubahan tingkah laku
anak.
Teori Skinner dalam belajar melalui conditioning
terhadap binatang (tikus) dapat mendorong orang untuk mentransfernya ke
manusia. Parlov (Ilmuan dari Rusia) juga mengadakan percobaan di Laboratorium
dengan mamasukkan seekor anjing yang dikondisikan untuk menerima stimulus yang
berupa lampu, dan dalam percobaannya menghasilkan dua teori yaitu : (1) stimulus generalization (hewan akan
hafal dengan stimulus yang sama/mirip dan mampu memahaminya (2) stimulus discrimination (hewan akan
bereaksi apabila ada stimulus baru). Maka dapat disimpulkan bahwa manusia tentu
dapat menangkap stimulus seperti tanda,
symbol, atau ekspresi dalam bahasa. Serta reinforcement juga sangat mendukung
dalam pembelajaran anak.
Menurut J.B Watson, tingkah laku
manusia itu dibentuk dengan pola hubungan stimulus dan respon, menurutnya
semakin sering dilakukan latihan, anak akan dapat sampai kepada gerak refleks, dalam ilmu bahasa,
sesuatu yang berulangkali dihafal dan dipraktikkan akan secara spontan atau
dapat dihafal diluar kepala (overlearned).
B.
Teori
Nativisme
Teori
ini berpandangan bahwa bakat anak itu akan berpengaruh besar terhadap kemajuan
belajar anak. Noam Chomsky berpendapat
bahwa anak itu sudah dibekali dengan a
black box atau LAD ( Language
Aquistion Device) Chomsky juga menambahkan bahwa peniruan yang
berlebihan, atau dalam istilah linguistic “parroting” berbahaya. Menurutnya
anak itu harus kreatif, kritis, dan dapat menguasai yang abstrak sehingga konsep universal grammar dapat dicapai dan
digunakan anak.
C.
Teori
Konvergensi
William
Stern berpendapat bahwa keberhasilan anak dalam belajar atau mengembangkan diri
dipengaruhi oleh dua hal yaitu: (1) pendidikan
atau ajar dan (2) bakat. Seseorang akan dapat terampil
secara optimum dalam bidang tertentu apabila ia dididik dan punya bakat untuk
melakukan hal tersebut.
BAB
III
LANGUAGE
ACQUISITION AND LANGUAGE LEARNING
(Pemerolehan
Bahasa dan Pembelajaran Bahasa)
A. Peristilahan
Istilah language learning atau pembelajaran bahasa
dapat diterapkan ke bahasa pertama (bahasa pertama), bahasa kedua dan bahasa asing,
CLA m erupakan pembelajaran khusus bahasa pertama. Pembelajaran bahasa Inggris
oleh anak Indonesia, berbeda dengan suasana pembelajaran bahasa Inggris anak di
Inggris, atau berbeda suasana
pembelajaran bahasa Jawa oleh anak Jawa (di Jawa Tengah, Yogyakarta, atau
Solo). Sehingga perlu pemahaman, bahwa pengajaran Bahasa Inggris kepada anak
Indonesia (sering disebut TEFL yang merupakan kepanjangan dari Teaching English a Foreign Language pengajaran Bahasa Inggris sebagai bahasa
asing).
B. Language Acquisition (LA atau CLA)
CLA bersifat alami,
dan informal sedangkan pembelajaran bahasa asing bersifat resmi, artificial, atau direkayasa. Kealamian
CLA terlihat ketika anak dilahirkan dilingkungan tertentu kemudian ia belajar
bahasa dareah yang dipakai di negeri itu, jadi intinya kealamian tersebut
dipengaruhi oleh lingkungan yang mendukung, seperti anak yang terlahir di
Sukabumi, dalam keluarga mereka menggunakan bahasa sunda, sering mendengar lagu
berbahasa sunda dari radio, dan lain-lain maka kealamian tersebut menjadikan
anak tersebut dapat menguasai bahasa sunda. Pemerolehan atau akuisisi bahasa di
daerah itu bersifat alami atau natural, baik ditinjau dari teori the habit
formation maupun teori the cognitive cide
learning.
Belajar bahasa ibu dapat dilakukan dimana saja, tak
memandang ruang da waktu, dan ini bersifat informal, factor pendukung dalam belajar bahasa ibu
sangat besar, sehingga CLA cenderung bersifat sukses.
Factor kesuksesan CLA adalah factor memori anak yang
masih sangat serta minat dan motivasi anak dalam berlatih berbahasa. Umumnya
usia kritis berkisar antara 2-1
tahun, dan 12-13 tahun merupakan titik kritis bagi second language learning. Titik kritis merupakan titik penting, jika
terlewati maka dapat diprediksikan bahwa anak itu tidak akan dapat mempunyai pronunciation seperti penutur aslinya. Orang dewasa belajar bahasa Inggris
secara intensif di perguruan tinggi mungkin dapat menguasai ilmu bahasa
(grammar, vocabulary, dan skills secara baik) tetapi karena titik kritis sudah
terlampaui pronunciationnya tidak mencapai tingkatan seperti penutur aslinya,
mungkin hanya mendekati.
C.
Language
Learning
Language
learning lebih bersifat formal dan waktunya terbatas sehingga
anak-anak tidak dapat seenaknya sendiri dalam belajar bahasa asing, sehingga
kesannya tegang atau tidak nyaman,
selain itu jam yang terbatas untuk belajar, sehingga kesempatan untuk
siswa untuk berlatih berbahasa juga tidak besar, dan faktor penghambat lain
adalah memori anak sudah melaui menurun, dan motivasi belajar bahasa
kedua/asing sering lemah, karena umumnya mereka berminat mempelajari pelajaran
lain.
Dalam language
learning , tugas guru adalah harus memanfaatkan faktor internal siswa,
misalnya untuk menghafal pelajaran, dan melatih daya fikir anak, misalnya
menghafal kata-kata, dan menguasai grammar sehingga dapat diterapkan kedalam
kalimat baik secara lisan maupun tulisan. Sebuah motivasi harus dipupuk secara
ilmiah, misalnya yang dapat menimbulkan kesadaran kegunaan bahasa Inggris
dikehidupan yang akan datang, maupun sekarang.
Dan hal yang paling penting adalah guru harus faham
dan menggunakan berbagai metode mengajar baik yang bersifat umum maupun khusus,
dan media yang digunkan juga menunjang dalam proses belajar, sehingga
diharapkan guru bahasa asing tidak gagap dengan teknologi ,namun juga tidak
berbantung juga dengan teknologi, dan kreatifitas diperlukan sehingga t ujuan
yang akan dicapai dapat tercapai.
BAB IV
RANGKUMAN
DAN TAMBAHAN
A.
Rangkuman
Perbedaan CLA dan FL
Perbedaan antara CLA (Children Language Acquisition)
dan FL (Foreign Language Learning) terlihat dari beberapa segi mulai dari
Student-Teacher Ratio, Place of study, Time- Teaching hours, Situation,
Motivation, Critical period, characteristics, Learning facilities, Exposure to
the target language, dan Availability of Native Speaker or models.
Jenis perbedaan CLA
|
FL
|
1.
Student-Teacher Ratio : ideal
2.
Place of study : everywhere
3.
Time, Teaching hours : any time
4.
Situation : natural
5.
Motivation
: integrative
6.
Critical period : 2-10 years
7.
Characteristics : having good memory and interest
8.
Learning facilities : good
9.
Exposure to the target language : high
10. Availability
of Native Speaker or models : plenty
.
|
Not
ideal
At
school limited
Structured
Conditioned
Instrumental
12-13
Thinking and interest should be
fostered
Limited
Low
Limited
or rare
|
Adapun penjelasan yang terkait
dengan diagram diatas
1.
Student-Teacher
Ratio
Yang
dimaksud dengan Student-Teacher Ratio adalah
perbandingan antara jumlah murid dan guru, untuk CLA pebandingan guru dan
jumlah murid adalah ideal, artinya
nuridnya sedikit dan gurunya banyak, misalnya 1:2 maka siswa dapat menerima
pelajaran bahasa ibu secara maksimal, tanpa menunggu antrian untuk
mempraktekkan bahasa yang sedang dipelajari.
Maka
yang terjadi pada FL adalah perbandingan jumlah anak yang banyak (mungkin mencapai
45 anak) dan jumlah gurunya hanya satu, akibatnya dalam pelajaran bahasa asing
seperti Inggris akan menemui kesulitan dalam mendapatkan kesempatan berlatih,
maka jika digambarkan, misalkan waktu praktik 30 menit maka setiap anak
mendapatkan kurang dari satu menit untuk berlatih.
2.
Place
of Study
Yang
dimaksud dengan Place of Study adalah tempat anak belajar bahasa
target. Pada waktu belajar bahasa ibu tempat belajar anak bisa dimana saja (everywhere): ditempat tidur, di ruang
tamu, di halaman rumah, atau tempat yang lain. Hal tersebut dapat terjadi
karena guru bahasa ibu (the mother tongue) adalah orang tua, saudara, kerabat,
masyarakat, dan siapa saja yang berbahasa daerah, (L1), dan faktor lain adalah
keadaan tempat yang fleksibel, suasana yang alami, bisa santai, dan tidak
tegang yang menjadikan CLA berhasil untuk dikuasai dengan cepat.
Place
of Study bahasa asing pada umumnya terbatas hanya di sekolah. Bahkan jamnya
yang terbatas dan juga aturan yang ketat menjadikan sebuah kesempatan untuk
berlatih anak juga terbatas, sehingga hasil belajar siswa menjadi tidak
optimal.
3.
Time
, teaching hours
Karena faktor dari tempat yang nyaman, dimana saja,
maka CLA lebih mempunyai banyak waktu, waktu yang tidak terbatas jika dijadikan jam mengajar (teaching hours) menjadi
banyak sekali (plenty, much, unlimited), dari sisi anak, teaching hours sama dengan learning
hours (jam belajar).
Berbeda dengan yang terjadi pada suasana belajar
bahasa asing (FL). Jam mengajar bahasa asing (termasuk Inggris) terbatas.
Sehingga himbauan untuk bagi orang tua untuk mendorong anak itu sendiri untuk
meluangkan waktu untuk menambah kemampuan bahasa dengan belajar sendiri dengan
metode yang mereka suka, baik berkelompok maupun belajar sendiri.
4.
Situation
Situation
adalah situasi atau suasana belajar, untuk CLA suasana belajar natural, alami,
tidak ada rekayasa, dan untuk pembelajaran bahasa asing, suasana harus dibuat,
direkayasa, structured atau
dikondisikan, dimana di kelas anak harus duduk teratur, bersikap tenang dalam
menerima pelajaran dari guru, maka jika suasana gaduh biasanya guru
menghentikan pelajaran untuk sementara, menunggu siswa tenang terlebih dahulu.
5.
Motivation
Motivation
ialah
dorongan yang relatif kuat (drive) dan mendasari sebuah perbuatan, dan dalam
bahasa Agama (Islam), motivation itu dapat disamakan dengan niat.
Motivation dibagi menjadi dua yaitu : integrative
dan instrumental. Motivasi
tergolong integrative apabila seseorang belajar bahasa dengan maksud
untuk membaur diri, mengintregrasikan diri kedalam kebuadayaan penutur bahasa
yang dipelajari.
Pada pembelajaran bahasa asing motivasi tergolong ke
Instrumental
(sebagai alat). Pelajar Indonesia mempelajari bahasa inggris karena
motivasi instrumental, yaitu sebagai
alat untuk meraih suatu pekerjaan, kelulusan ujian, beasiswa, atau yang lain,
sehingga motivasi Integrative dianggap lebih kuat daripada motivasi
Instrumental.
Motivasi instrumental yang dimiliki siswa ada dua
yaitu: yang kuat(the strong one) dan yang lemah (the weak one), sehingga
diharapkan yang kuat yang harus dipilih, maka motivasi instrumental yang kuat
dapat mengantarkan pelajar untuk meraih sukses dalam test TOEFL.
Jika dilihat dari sumbernya motivasi dapat dibagi
menjadi dua yaitu: internal motivation
(motivasi dari dalam) dan external
motivation (motivasi dari luar), motivasi dapat menjadi lebih kuat apabila
dipupuk terus, namun dapat menjadi lemah jika tidak dipupuk baik dari dalam
diri maupun dari orang lain/lingkungan.
6.
Critical
Period
Critical
Period adalah masa kritis, atau masa yang paling baik untuk
dipakai untuk belajar bahasa Untuk CLA,
masa kritis pada usia 2-10. Apabila masa itu terlewati, anak sulit untuk dapat
menguasai bahasa ibu (L1) dengan lancar dan baik pengucapannya, mereka
cenderung tidak fasih, atau tidak pas.
Masa kritis belajar asing seperti Inggris adalah
12-13 tahun. Apabila masa itu terlewati, maka siswa juga tidak akan pronunciation yang sebaik native speaker,
atau hanya mendekati saja.
7. Characteristics
Characteristics
adalah
ciri-ciri yang melekat pada pribadi anak atau siswa yang sedang belajar bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar